Jejak Tertinggal

Seberapa berarti sebenarnya peran kita di muka bumi? Lihatlah kedalaman jejak yang tertinggal, saat kita hembuskan nafas terakhir. Saat dimana setiap orang yang pernah mengenal kita –mau tidak mau, akan dihempaskan pada kesadaran baru yang absolut; bahwa kita tidak akan pernah hadir lagi di dunia ini. Lalu muncul rasa kehilangan pada mereka yang pernah dekat, mengenal, menghargai, mengapresiasi, menghormati atau menghabiskan waktu bersama kita. Hilang adalah penghayatan atas apa yang pernah ada, sehalus, seringan apapun sentuhan itu.

Dalam 83 tahun, 2 bulan, 2 minggu dan 3 hari jatah usia almarhum Bapak Bacharuddin Jusuf Habibie, berapa banyak orang yang merasa kehilangan saat beliau berpulang? Berapa orang yang pernah merasa tersentuh oleh kehadirannya? Entah siapa yang bisa menjawab ini dengan angka persis. Rentang generasi yang mengagumi kiprah, karya dan ketokohan beliau cukup panjang. Banyak anak kecil, anak muda di suatu masa menjadikan sosoknya sebagai inspirasi masa depan mereka. Bahkan mereka yang tidak pernah bertemu atau mengenal langsung pun bisa merasakan keberartian dirinya. Kecerdasan, keuletan menekuni mimpi dan cita-cita, semangat, kecintaannya terhadap tanah air, antusiasme dalam intonasi bicaranya, binar mata membelalak penuh gairah hidup, cinta dan kesetiaannya pada Ibu Ainun, ketaatannya sebagai seorang muslim, ketegasannya untuk membela hal-hal yang dianggap prinsip, kerendahan hati, kebaikan, sikap tawadhu’, apalagi yang berkesan? Mereka yang pernah langsung bertemu atau berinteraksi pasti bisa menambahkan hal lain yang bisa dikenang dari almarhum, dan deretan pun semakin panjang.

received_305485410017409

Pak, saya memang tidak sempat berinteraksi langsung semasa Bapak hidup. Namun ketokohan Bapak sangat menginspirasi semangat masa kecil, dalam banyak hal, bahkan hingga usia saya saat ini. Saya adalah salah satu dari sekian banyak bocah ingusan yang ternganga di depan televisi, suatu hari di tahun 1983, saat CN-235 lepas landas perdana. Wow, magic! Lalu ada Indonesia Air Show, pameran kedirgantaraan internasional di tahun 1986. Sebagai filatelis belia, sampul hari pertama Indonesia Air Show 1986 menjadi salah satu koleksi yang paling saya suka. Selain kecerdasan dan semangat, saya juga mengagumi keterbukaan, ketulusan dan sikap apa adanya yang Bapak tampilkan. Ekspresif, genuine, authentic, itu kesan yang tertinggal. Saat Ibu Ainun berpulang, saya pun tercenung menyaksikan betapa ternyata Bapak begitu mencintai sosok yang dijadikanNya sebagai pasangan hidup Bapak. Pernikahan yang diwarnai cinta, kesetiaan, perjuangan, kerja keras dan saling menghargai, akhirnya dipisahkan oleh maut. Banyak keteladanan yang bisa diambil dari perjalanan, kebersamaan Bapak dan Ibu. Ternyata sosok yang menginspirasi memang bisa terasa hadir, menyapa, bahkan mencubit rasa dan kesadaran, tanpa harus kenal atau bertemu langsung. Lalu hadirlah rasa kehilangan itu.

Dalam ketiadaan, saat ini pun ternyata Allah SWT masih izinkan sosok Bapak untuk bisa menggiring, memunculkan pertanyaan-pertanyaan reflektif dalam diri ini. Dari sekian hari, minggu, bulan, tahun yang telah Allah berikan sebagai jatah usia, lalu bekal apa saja sebenarnya yang sudah saya siapkan? Sudah seberapa banyak atau justru pernahkah saya benar-benar bantu menguatkan mereka yang terpuruk? Membantu orang yang kesulitan? Bekerja sungguh-sungguh dan tekun, komit dan tertib menepati tenggat waktu? Mengerahkan energi penuh dalam setiap amanah? Beribadah dengan khusyu’? Menggenggam tangan mereka yang kehilangan harapan? Mendoakan kebaikan? Menyenangkan hati dan memuliakan orangtua? Hadir untuk kerabat yang membutuhkan? Menyingkirkan penghalang dari jalan yang dilalui banyak orang? Tulus tersenyum dan berbaik sangka? Berbagi ilmu dan pengalaman? Berbakti pada suami? Memberdayakan orang lain? Pesan yang cukup jelas, ikhtiar untuk menjadi sebaik-baiknya umat yang bermanfaat luas. Bukan, bukan semata agar meninggalkan jejak, dikenang atau didoakan banyak orang saat kita sudah tiada. Lebih dari itu, Bapak juga memberikan keteladanan, bahwa menebar kebaikan adalah cara untuk memuliakanNya. Berupaya yang terbaik adalah wujud syukur dan sujud sebagai hambaNya, menghargai rentang usia yang sudah diberikanNya. Tidak ada paksaan atau rengekan untuk minta dihormati, disegani, dipuji atau disanjung. Semua sikap respek dan kekaguman muncul begitu alamiah, karena jejak kerja keras, ketulusan dan kebaikan-kebaikan lain yang pernah Bapak lakukan.

Terima kasih atas semua hal yang pernah Bapak upayakan dan berikan untuk bangsa ini. Semoga kami bisa meneladani, mencintai Indonesia sebagaimana yang Bapak tunjukkan. Kiranya Allah SWT tempatkan Bapak di sebaik-baiknya peristirahatan terakhir, kelak dipertemukanNya kembali dengan kekasih  hati tercinta, Ibu Ainun. Kalau kami semua masih dalam penerbangan menuju destinasi akhir, sesekali menemui lautan awan yang cantik atau guncangan kuat di perjalanan, Bapak saat ini sudah landing dengan selamat, menutupnya dengan husnul khatimah, Insya Allah. Selamat berpulang ya Pak, selamat menikmati kebersamaan abadi dengan Sang Maha Segalanya, Pemilik Cinta Sejati.

Innalillahi wa inna ilayhi roji’uuun…

Bukan Dongeng dari Negeri Dongeng

Cerita yang sama melintas lagi di depan saya lewat suatu forum. ‘Dziiig!’

Konon kabar di awal terbentuknya republik ini, di berbagai pelosok negeri berjuta orang gelisah. Sebegitu intensnya kegundahan mereka. Pada masa itu, ada satu hal yang sama-sama sangat dirindukan dan membuat setiap individu punya kesamaan tujuan. Tanpa banyak kendala, setiap orang merasa orang lain di negara ini adalah sama, satu, sejalan dengan dirinya. Lalu bagaimana dengan perbedaan? Ada. Tentu saja selalu ada. Namun itu terasa tidak terlalu penting. Dalam benak banyak orang ketika itu perbedaan adalah sesuatu yang bisa ditepis, toh ada sasaran lebih besar yang menjadi prioritas bersama. Perbedaan bukan menjadi masalah yang harus dikedepankan, lalu meruncing berubah wujud menjadi onak yang menggores dan melukai. Sebelum kemerdekaan, setiap orang merasakan getaran yang sama dalam aliran darah mereka: merindukan Indonesia yang berdaulat. Menyadari bahwa hal itu tidak mudah, dengan segenap daya yang dimiliki setiap orang pun berupaya untuk berkontribusi semampunya. Bahkan jauh sebelum proklamasi, setiap kalangan sampai-sampai merasa perlu secara eksplisit menyamakan dan menyatukan identitas, sebagai satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Ada kegairahan dan kegembiraan untuk menyatu. Kemerdekaan diraih dengan sumbangan kolektif, iuran dari banyak orang, dari berbagai kalangan yang ada di negeri ini. Begitu banyak urunan pemikiran, curahan perasaan, dana, semangat, peluh, tenaga fisik, waktu, darah, hingga nyawa yang tergadaikan untuk menebus kedaulatan. Bukan semata romantisme sesaat, kesamaan tujuan saat itu terasa begitu luhur dan menjadi cita-cita bersama yang mendasari perjuangan. Perasaan serupa tersebut memberi energi setiap orang pada masa itu, untuk saling sapa dengan aliran semangat dan keharuan yang sama; ‘Merdeka!’. Kita adalah satu. Negeri itu, ada. Dan negeri itu bukan negeri dongeng.

Lalu, apa yang ada di hadapan kita kini? Apa kabar negeri itu? Hampir 69 tahun usia kemerdekaannya. Apa yang kita rasakan? Masihkah tersisa gelegak perasaan dan semangat yang sama bahwa kita semua adalah satu, dan punya cita-cita bersama yang perlu diwujudkan lewat kerja keras bersama?

Saya sebenarnya berharap kita semua bisa menjawab ‘ya’, dengan tegas. Bila perlu ketegasan yang sangat meyakinkan. Namun dalam banyak kesempatan, kejadian dan kenyataan yang terekam di depan mata dan benak ini tak selalu mengisyaratkan hal tersebut. Terkadang kita lebih mudah merasa berbeda, lalu bergegas menjauh dari kebersamaan dan rasa saling menghormati. Adakalanya kita merasa jauh lebih baik dari orang lain yang berbeda pilihan. Tengoklah contoh keriuhan yang terkait dengan pemilu. Berapa banyak dari kita yang merasa tidak sama, berbeda tujuan, berbeda ‘jagoan’, lalu saling umpat, mencela dan menjatuhkan? Pada masa kampanye –bahkan jauh sebelum itu, selalu saja ada beberapa orang yang merasa lebih berhak untuk mencibir, lalu dengan sangat ringan menjelek-jelekkan siapapun yang berbeda pilihan. Sepenuh tenaga bila perlu. Senyinyir mungkin, bila bisa. Sampai pihak lawan terjungkal, lebih bagus bila tidak bisa berkutik lagi. Beberapa orang menyematkan identitas pembeda di dirinya, dengan tegas menyatakan pilihan pribadi. Sampai di sini, tentu tidak ada yang salah dengan menentukan pilihan masing-masing. Tetapi bagaimana kemudian pilihan-pilihan tersebut menggiring kita pada sekat-sekat yang memisahkan, bahkan berhasil menciptakan kebencian luar biasa dan jurang pemisah dalam yang tak terjembatani; inilah racun sesungguhnya. RACUN, menurut saya.

Dengan ketatnya sekat pembatas, tidak banyak yang mampu melihat tujuan bersama; yaitu tujuan bangsa ini untuk jangka waktu panjang. Sekat itu telah mewujudkan semacam kekang yang membatasi kemampuan seseorang untuk bisa mengantisipasi lebih jauh, menyikapi secara bijak dan mengambil tindakan akurat yang lebih bermanfaat luas. Waspada (dan cenderung mengarah pada curiga) menjadi sikap yang terbangun dan respon yang terlatih otomatis adalah siap menyerang. Pertanyaannya, sebegitu berbedanya-kah kita sampai-sampai perlu saling hujat dan menyakiti? Lalu apakah akhir dari semua itu adalah kemenangan yang melegakan? Untuk siapa?

Serupa dengan perjuangan meraih kemerdekaan, begitu banyak urun pemikiran, curahan perasaan, dana, semangat, peluh, tenaga fisik, waktu, darah, hingga nyawa yang mungkin tergadaikan saat pemilu yang baru lalu. Akan tetapi BUKAN untuk menebus kedaulatan, apalagi untuk mewujudkan manfaat yang luas bagi bangsa. Sayangnya saat ini (bagi sebagian orang) target yang dituju justru menjadi lebih sempit: kursi jabatan. Jadi, ketika para pejuang dan rakyat Indonesia di waktu lalu merasakan gelegak haru dan semangat bahu-membahu untuk saling padu dan bantu, di masa kini justru muncul kegundahan dan semangat berbalut kebencian saat berhadapan dengan mereka yang dianggap berbeda, bukan dari ‘kaum’ atau ‘golongan’-nya. Ketika dulu ramai orang mengedepankan apa bisa yang menyatukan mereka di atas aneka perbedaan, kini sebagian orang justru mengumandangkan semangat untuk membela identitas dan kepentingan yang lebih sempit; hanya potongan kecil dari puzzle Indonesia yang sangat besar. Saya melihat beberapa potongan kecil ini bahkan ada yang tidak terkait sama sekali dengan kepentingan bangsa, kepentingan bersama. Energi dan birahi politik yang sedemikian besar rupanya tidak selalu bermuara ke ‘samudera’ bernama Indonesia, namun sudah habis di hulu untuk kepentingan sesaat yang berorientasi pribadi dan golongan.  Hati kecil saya berharap semoga ini hanya satu-dua cuplik gambaran saja, yang sebenarnya tidak mewakili negara ini. Intensitas kehadirannya hanya lebih terasa karena senantiasa digadang-gadangkan lewat corong berbagai media. Semoga.

Berbeda adalah sunatullah, sudah merupakan ketentuanNya. Berbeda sebenarnya tidak terhindarkan, sudah demikian adanya dan sama sekali bukan semacam najis besar yang perlu dijauhi. Selalu ada jalan untuk kita menghindari perpecahan, bila mau. Di sekeliling kita, masih banyak sebenarnya orang-orang yang berpikir positif, tidak berorientasi diri/golongan sendiri dan tetap memprioritaskan kepentingan bersama. Mereka tidak merasa perlu untuk larut dalam hasutan dan mempropagandakan kebencian, terlebih untuk membangun sekat yang tinggi. Beberapa di antaranya secara pribadi menemukan ketenangan batin dengan memilih jalan yang diyakini, lalu menghormati apa yang menjadi keyakinan dan pilihan orang lain. Begitu banyak orang yang tetap bekerja dan memberikan 100% kontribusinya untuk kebaikan dan perbaikan bangsa ini, tanpa perlu sanjungan dan publikasi. Dalam porsi tugasnya masing-masing mereka berupaya untuk tetap amanah, konsisten mengedepankan integritas dalam bekerja. Apakah saat ini kita sudah menjadi bagian dari mereka?

Terbersit ada kerinduan pada kebaikan, hal-hal positif dan optimisme, yang mungkin saja terasa kurang seksi bagi sebagian besar media untuk dikedepankan. Beberapa orang terlanjur menepuk dada, larut dalam ilusi bahwa memaki lawan politik itu sebegitu hebatnya dan telah menaikkan harga dirinya secara signifikan. Perbedaan pendapat atau perdebatan bernas yang konstruktif mungkin tidak terlalu menjual, karena berita dan ulasan mengenai saling cela, perang urat syaraf, bentrokan dan kerusuhan terasa lebih ‘keren’ dan menggugah. Lalu, sampai kapan ini berlanjut? Kumandang pujian dan kebanggaan akan bangsa ini sesekali mungkin terdengar sumbang. Tapi rasanya tidak untuk kemudian menjadi hening, lalu padam sama sekali tak terdengar.

Sebelum kebencian dan perbedaan yang memecah-belah terlanjur menjadi norma umum yang berlaku, kita sebenarnya masih punya waktu dan harapan. Mari sama-sama berupaya. Masih banyak orang-orang baik di sekitar kita yang tetap menebar optimisme dan harapan positif, membuat kita bisa merasakan bahwa belum terlambat untuk tetap mengedepankan kebersamaan dan memelihara semangat sebagai satu bangsa. Kepentingan bersama akan selalu di atas segalanya, untuk membuktikan bahwa cerita lalu tentang persatuan dan kebersamaan itu, bukanlah dongeng dari negeri dongeng –yang hanya berulangkali dikisahkan dalam ritual tahunan setiap Agustus datang.

Tentang Pak Husin

(tulisan lama saya; pertama dipublikasikan di notes akun Facebook pada 23 Desember 2009)

ImageMengamatinya sepintas, memang tidak ada yang terlalu istimewa atau menarik perhatian dari tampilan fisik pria itu. Seorang Bapak berusia mendekati 70 tahun, yang keseharian hidupnya di pagi hari dimulai dengan memunguti sampah yang berserakan, apapun itu. Dari kaleng bekas minuman hingga kotoran ternak. Ia berjalan, terkadang juga bersepeda menyusuri tepi pantai dan jalan di seputar kediamannya. Harus diakui, di atas hamparan pasir putih memang seringkali dijumpai 1001 benda, menyaingi kelengkapan sebuah toserba. Sang Bapak kerap juga merambah ke luar rumah, ke jalan raya, bahkan hingga menuju pusat kota. Apapun sampah yang ditemuinya dipungut, dikumpulkan, dengan semangat bagai kanak-kanak yang berlomba memunguti biji cemara di halaman. Fisiknya tampak sudah menua, setidaknya dari foto terakhir beliau yang pernah saya lihat. Namun semangat di balik itu sungguh benar-benar tidak bisa ditutupi. Terlalu kasat mata bagi saya.

Sesampai di rumah, ia kemudian akan memilah sampah. Dengan peralatan sederhana, dibantu kedua putranya yang telah beranjak dewasa, sampah organik diolah Sang Bapak, hingga berubah wujud menjadi kompos. Di pekarangan rumah mereka yang tidak terlalu luas terdapat semacam bengkel kerja, mesin sederhana dan bak penampungan untuk memprosesnya. Mesin itu ia buat sendiri, dimana 12 buah unit serupa sudah dibeli sejumlah instansi setempat.

Memang cukup banyak penduduk lokal yang telah mengenali beliau, melalui apa yang telah dilakukannya untuk mereka. Perhatiannya pada masalah kebersihan dan kesehatan tampak antara lain dari kepeduliannya membiayai (dan membantu langsung pelaksanaan) pembangunan sejumlah MCK di pelosok desa. Di lingkungan terkumuh ia membangun sumur untuk memfasilitasi air bersih kebutuhan harian para warga. Gerobak dan tempat sampah disumbangkannya kepada penduduk di sentra pengrajin gerabah, yang tentunya cukup banyak dikunjungi oleh para wisatawan, termasuk dari mancanegara.

Bapak Husin Abdullah, demikian beliau disapa. Lahir sebagai Gavin Birch, pria asal New Zealand ini sudah sejak sekitar 1985 tinggal di Pulau Lombok dan menikah dengan Ibu Siti Hawa, penduduk asli setempat. Mungkin beberapa orang pernah mengenalnya, antara lain melalui pemberitaan, karena memang sejumlah kiprahnya pernah mendapatkan penghargaan dan dukungan donasi internasional. Sungguh, bukan penghargaan ini dan itu yang membuat saya terkagum menganga. Namun keteguhan sikap dan keikhlasan melakukan apa yang diyakininya, yaitu mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat. Ia merintisnya di lingkungan masyarakat yang sama sekali belum paham akan pentingnya memprioritaskan dua hal tersebut. Pak Husin mengakui bahwa lebih banyak orang yang menganggapnya gila, di awal kiprahnya.

Mau tidak mau ingatan pun kembali pada sekitar Mei 2002, pada satu kunjungan ke Sengigi bersama sahabat-sahabat terdekat saya. Kami sempat menginap di guest house miliknya. Sayang, saat itu beliau sedang sangat sibuk beraktivitas di luar rumah sehingga kami tidak sempat bertemu dengan Pak Husin. Selama sekitar 3 hari menginap, kami hanya ditemani oleh istri beliau, Ibu Siti Hawa dan kedua putranya, Aziz dan Rizal. Di penginapan sederhana yang begitu alami kami benar-benar merasa rileks, menikmati eloknya pantai Senggigi berikut bonus pemandangan Gunung Agung di Pulau Dewata seberang lautan. Keramahan dan kebaikan hati Ibu Siti Hawa, Aziz dan Rizal membuat kami nyaman dan betah di sana.

Image

Pagi hari, Rizal atau Aziz akan membawakan teh hangat dan sarapan ke teras di depan kamar kami, dengan keceriaan khas mereka. Siang hari, mereka juga kerap menemani kami berbincang, sambil menikmati deburan ombak, duduk menyebar di atas pasir, bale-bale bambu, batang pohon atau ayunan. Rizal yang ekspresif banyak bercerita tentang kiprah Ayah yang mereka banggakan. Sementara Aziz si sulung lebih kerap tersenyum, menyimak dan hanya sesekali berucap menimpali. Di malam hari, Ibu Siti Hawa terkadang membuatkan hidangan sederhana, masakan ala rumah yang bisa kami nikmati bersama dengan sesama pelancong dari berbagai pelosok bumi. Kami semua berkumpul di meja makan yang langsung menghadap ke pantai. Ah, sungguh saat berharga yang begitu indah. Meski hingga waktu cukup lama saya sempat sangat menyesal belum pernah bertemu dan berbincang langsung dengan Pak Husin, pribadi yang kami kagumi melalui penuturan orang-orang terdekatnya.

Masha Allah.. sungguh beliau bukanlah sosok yang berpunya dan sangat mapan sehingga bisa membiayai sedemikian banyak pembangunan sarana kebersihan dan pengolahan sampah, bagi masyarakat di sekitarnya. Dalam kesederhanaan, saya menemukan betapa kaya dan indahnya hidup beliau. Begitu banyak kepedulian, ilmu, keringat, upaya, pemikiran, motivasi, doa dan waktu dalam usianya yang telah diberikan bagi kebaikan banyak orang, tanpa pamrih. Bapak Husin Abdullah berjuang pada rel dan dengan cara yang diyakininya sendiri, demi kebaikan dan peningkatan kualitas hidup banyak orang.

Maka, saya pun menjadi teramat sangat bersyukur ketika beberapa minggu yang lalu tanpa sengaja sempat menyaksikan tayangan televisi mengenai beliau. Saya tercenung ketika pada akhir liputan tersebut si pewawancara menanyakan pada beliau: “Apa sih yang membuat Bapak mau melakukan ini semua?”. Dengan nafas tersengal dari raga yang sudah menua, beliau menjawab: “Allah. Allah-lah yang menuntun saya ke tempat ini. DijadikanNya saya kuat untuk tetap melakukan semua ini.”

(Baiklah, harus diakui bahwa saat itu pandangan saya kabur karena mata yang membasah).

 

 

Sampai saat ini saya belum sempat kembali ke Pondok Siti Hawa. Mohon info bila ada di antara Anda yang mengetahui kabar terakhir dari keluarga Pak Husin. Terima kasih. 🙂

Watching the Wheels

Saat menulis lagu Watching the Wheels, John Lennon tengah berada di puncak kebahagiaan hidup atas wujud pencapaiannya yang lain. Merasakan secara intens apa yang sebelumnya tidak pernah ia alami. Sama sekali bukan terkait ambisinya dalam bermusik atau ketenaran. Ia justru menemukan kedamaian dengan lebih banyak tinggal dalam apartemennya. Ketika itu Lennon coba menjalankan peran sebagai seorang Ayah bagi Sean, yang lahir pada tahun 1975 tepat di hari ulang tahunnya ke-35. Ia berupaya melakukan apa yang sebelumnya tidak pernah dilakukan terhadap Julian, anak sebelumnya dari pernikahan terdahulu. Lagu dengan iringan instrumen musik sederhana ini terdengar tenang, sekaligus juga matang, mengisyaratkan Lennon tak lagi peduli pada apa yang dikatakan orang atau apa yang terjadi di luar sana. Lewat liriknya ia mengungkapkan kebahagiaan dalam menjalani pilihan hidupnya, meski hal tersebut mungkin kurang lazim atau dipertanyakan kebanyakan orang. Bagaimana mungkin seorang John Lennon justru memilih aktivitas mengganti popok, bermain dengan Sean dan memasak untuk mendominasi kesehariannya. Baginya yang terpenting adalah apa yang secara sadar ia pilih sebagai prioritas saat itu; keluarga. Hanya berselang beberapa bulan kemudian usai merekam lagu ini, Mark David Chapman menembak Lennon hingga tewas. Hidupnya berakhir, sekian. Namun terlihat bahwa pilihan-pilihan yang ia buat di akhir hidupnya tentu saja membingkai nuansa cerita yang jauh berbeda, bila dibandingkan dengan akhir hidup Cobain misalnya. Ada damai di ujung usianya, ketika Lennon merasa bisa menemukan kebahagiaan sesuai dengan kebutuhannya, sejalan dengan apa yang menurutnya penting. Di titik ini penilaian atau tuntutan lingkungan tidak lagi menjadi beban.

Persoalannya bukan pada pilihan apa yang dibuat. Tentu saja itu sangat individual, karena masing-masing orang berangkat dari titik berbeda dan berproses secara unik. Yang terpenting adalah: apakah kita sudah membuat pilihan berdasarkan pertimbangan sendiri? Berdasarkan telaah, pemikiran, kebutuhan, perasaan dan tujuan hidup masing-masing? Keseharian yang melingkupi kita seolah sudah punya pola sendiri, tatanan tertentu yang membuat kita terkadang belum sempat memproses, lebih mengikuti saja apa yang memang ‘terasa’ sudah seharusnya. Di masa lalu, kebanyakan orangtua mungkin belum menyediakan ruang yang luas untuk anak terlatih memproses beragam pilihan dan kemungkinan yang ada. Pertanyaan dan pancingan atas respon anak terbatas pada apa yang masih berada di pakem atau jalur standar. Ada masa-masa dimana hidup saya terasa berjalan dengan kendali auto-pilot. Saya tahu akan sampai ke tujuan, tapi tidak terlalu terlibat apalagi sampai menikmati prosesnya sendiri. Di titik seperti ini sebenarnya menurut saya, manusia bisa jadi masih bernafas namun tidak benar-benar hidup. Terkadang ini yang membuat saya sedikit iri dengan –misalnya sebagian para mualaf, khususnya mereka yang menemukan Islam benar-benar lewat perjuangan untuk mencari dan memaknakan setiap peristiwa hidupnya. Berbeda dengan saya yang terlahir Islam. Bagi saya pribadi, memang tak terbantahkan bahwa hal tersebut merupakan suatu anugerah. Namun di sisi lain harus diakui pula bahwa terkadang saya lebih terkondisi dan didominasi oleh warna ritual yang melekat sejak kecil, lalu menyimpan rapat-rapat pertanyaan-pertanyaan yang beterbangan di kepala saya. Sementara di sisi kegairahan spiritual dan kedekatan denganNya masih dalam proses panjang untuk bisa dikatakan sekedar memadai, apalagi sampai pada taraf berkualitas. Berbahagialah mereka yang menjatuhkan pilihan-pilihan dan menemukan apa yang penting dalam hidup secara sadar, bukan semata karena pengaruh atau tuntutan lingkungan semata. Kalau pun pilihan tersebut adalah sesuatu yang kebetulan sejalan atau sama dengan tuntutan sosial, akan sangat menyenangkan bila yang bersangkutan memang benar-benar menginginkannya. Bukan karena ‘seharusnya’ atau apa kata orang.

Pada setting cerita dimana ada komidi putar, kebanyakan akan berpikir bahwa setiap orang harus ikut menaiki atau setidaknya mencoba. Semua perhatian terfokus pada menunggu giliran untuk menaiki komidi putar. Hanya sebagian yang mungkin bisa melihat bahwa ketika seseorang ternyata lebih menikmati untuk sekedar menonton, itu juga sebuah pilihan yang ia temukan. Lewat caranya sendiri, ia memaknai keberartian hidup. Esensinya adalah bahwa masing-masing orang sebenarnya diminta (olehNya) untuk berpikir, merasa dan mengolah, sebelum memahami apa yang penting dalam hidupnya, menjatuhkan pilihan atau menentukan langkah. Iqra. Hanya dengan berproses seperti itulah kita bisa lebih HIDUP, bukan sekedar bernafas. Termasuk memaknai chaos dan rutinitas di kesibukan sehari-hari (coba ya, ayoo.. bagaimana memaknai macetnya Jakarta yang semangkin semangkin? hehe). Akan selalu ada yang menarik, selama ada kemauan dan kesadaran buat mengolahnya. Mungkin, lho.. saya juga tadi hanya keterusan nulis kok. Awalnya hanya kebetulan dengerin Watching the Wheels, sambil ngunyah tahu sumedang, lontong dan rawitnya. 😉

I’m just sitting here watching the wheels go round and round,
I really love to watch them roll,
No longer riding on the merry-go-round,
I just had to let it go

Saya tahu dan sepenuhnya sadar menjalani pilihan-pilihan saya. Saya merasa menang (sudah menaklukkan keterbatasan diri sendiri), senang berproses dan tenang menikmati hidup ini, terutama terkait dengan apa yang saya anggap penting: mendekatiNya. Maunya sih begitu di akhir hidup saya nanti. Kedengerannya enak ya? 🙂

(Memeluk) Ramadhanku

Ramadhan adalah sapaan mesra,

yang tidak setiap saat datang

adalah pelukan hangat,

yang terkadang lebih dirindukan dalam ketiadaan

yang terasa sangat berharga,

begitu menggetarkan hati ketika terpisahkan oleh jarak

 

Ramadhanku masih ada di sini

melesat dengan kecepatan cahaya

hari ke-16 hampir usai *

 

saat mata terpejam,

terasa lebih pasti bahwa aku masih erat dalam semerbak pelukannya

dalam diam dimampukanNya aku untuk meresapi,

memaknai kehadirannya

menikmati detik demi detik

yang begitu bernilai

 

ternyata

sebelas bulan lain hadir

untuk menciptakan rinduku pada Ramadhan

kecintaanku pada keindahannya

walau kerap lebih banyak lalai dan abai dalam diri

kesia-siaan saat melihat, mendengar, berbicara dan melangkah

 

Rabb,

mohon dekatkan hatiku pada kebesaranMu

selalu, Ya Allah

selalu

tiada kemampuan yang melebihi kuasaMu

untuk menyentuh

merekatkan rapuhnya hatiku,

melembutkannya

menjadikannya selalu dalam syukur tak bertepi

membuatnya senantiasa memeluk Ramadhan

sebelum hembusan nafas terakhirku

 

lamat-lamat,

aku tahu Ramadhanku akan segera berlalu

pasti

dan persediaan Ramadhan di sisa usiaku pun kian menipis

 

 

*) ditulis 4 Agustus 2012/Ramadhan 1433

Ramadhan: Saatnya Perhatian Beralih?

Ramadhan datang kembali, ke sekian kalinya dalam hidup kita. Ia adalah salah satu dari banyak penanda dalam rentang waktu setahun. Layaknya penanda atau pengingat waktu lain, dunia atau lingkungan sekitar bisa saja menyambutnya sedemikian rupa. Namun keberartian nilainya selalu terpulang kembali pada setiap individu.

Secara umum Ramadhan diidentikkan dengan bulan penuh ibadah. Di dalamnya dijanjikan Allah SWT limpahan rahmat, ampunan dan kebebasan dari api neraka. Di lingkup sosial, ritual komunal bernafaskan ibadah terlihat dari dilakukannya berbagai kegiatan ibadah seperti tadarus bersama, sholat tarawih berjamaah, buka puasa dan sahur bersama dengan berbagai kalangan, kajian-kajian religius, dan sederet aktivitas lainnya. Di bagian lain, ciri khas Ramadhan di Indonesia antara lain ditandai dengan kenaikan berbagai komoditi di pasar, sibuknya para Ibu rumah tangga menyusun menu bulan puasa, bahkan juga sudah mulai persiapan untuk hari raya. Aneka produk pun dijajakan melalui berbagai kanal, penjual ini dan itu begitu marak selama Ramadhan. Memang para pengusaha tanah air kerap melihat Ramadhan sebagai momen penting dalam kegiatan tahunan, untuk mengeruk keuntungan melimpah. Nilai transaksi dan konsumsi masyarakat pun naik berkali-kali lipat. Ramadhan memang banyak sekali disangkutpautkan dengan berjuta hal lain, sedikit relevan, relevan maupun tidak. Saat ini ketika kita menoleh ke kiri dan kanan, banyak hal apapun kerap dikaitkan dengan Ramadhan. Promo di berbagai pusat perbelanjaan, edisi penerbitan majalah, penyesuaian jam kerja beberapa instansi, kebijakan jam buka beberapa pusat hiburan, pilihan busana, aktivitas ibadah harian, perubahan menu di dapur dan sebagainya. Tapi, apa sebenarnya pesan utama yang dibawa oleh Ramadhan?

Saya berpikir bahwa Ramadhan sebagai penanda waktu bisa saja datang membawa beragam wajah, namun segala sesuatunya benar-benar terpulang pada kita masing-masing. Seberapa dahsyatnya citra yang dikesankan oleh lingkungan, tetap bagaimana makna dan dampak Ramadhan terhadap diri merupakan suatu hal yang sangat pribadi. Selain merupakah hidayahNya, sadar atau tidak hal tersebut kerap merupakan pilihan individual. Di Indonesia, lingkungan sosial berikut tekanan yang menyertainya merupakan salah satu faktor yang dianggap signifikan dalam menentukan warna kehidupan, atau setidaknya keseharian seseorang. Benar bahwa secara kolektif terjadi peningkatan kegiatan ibadah dan kegempitaan lain yang bernuansa Ramadhan di sekitar kita. Tapi sejauhmana secara pribadi seseorang benar-benar tersentuh, tergerak dan lalu berdampak pada peningkatan kualitas hubungan denganNya, hanya ia dan Tuhan sajalah yang tahu. Tidak pernah ada yang bisa memastikan bahwa dengan selalu hadirnya seseorang di masjid untuk menunaikan shalat tarawih berjamaah misalnya, ketakwaannya meningkat dan ke depannya ia bisa menjadi manusia yang lebih baik. Karena ada beragam alasan yang mendasari seseorang memilih sikap atau melaksanakan suatu tindakan. Dan sungguh hal tersebut sama sekali bukan porsi kita, manusia untuk menilai.

Bagi sebagian besar orang (khususnya umat Islam), Ramadhan memang mengalihkan perhatian. Tapi kemana arah beralihnya, sungguh bisa menjadi sangat beragam. Menahan lapar di siang hari ketika berpuasa bisa membuat perhatian kita justru tertuju pada makanan, dari tingkatan wajar hingga mungkin saja terobsesi dengan berulangkali membayangkan hidangan apa saja yang akan dimakan pada saat berbuka nanti. Sebagian lagi mungkin tidak menjadikan lapar sebagai kendala, menjalankan aktivitas rutin saja seperti biasa. Sebagian lagi mampu menambahkan kesehariannya dengan ibadah plus, seperti membaca dan mengkaji Al-Quran. Ada pula yang perhatiannya beralih pada kegiatan sosial kemasyarakatan, atau semakin bergiat di bisnisnya yang memang semakin meningkat ketika Ramadhan. Sebagian bisa sudah mulai antusias menyusun rencana untuk mudik, memilih baju lebaran dan hidangan untuk open house nanti. Singkat kata: meriah. 🙂

Begitu banyak stimulus di sekitar kita, dengan beraneka tingkatan manfaat dan relevansi. Berkaca pada pengalaman pribadi yang kerap (sok) disibukkan dengan kegiatan rutin, seringkali saya menemukan di tengah atau bahkan baru di akhir Ramadhan, bahwa ternyata saya sama sekali belum memanfaatkan bulan baik ini secara optimal. Selalu disertai dengan menciutnya hati, khawatir tidak akan ada waktu lagi bagi saya untuk menjumpai Ramadhan berikutnya. Lalu menjadi klise dan berulang, tanpa perbaikan berarti. Saya melihat, Ramadhan sebenarnya adalah latihan yang sangat baik agar kita bisa lebih terampil dan mengasah kepekaan dan menentukan apa yang menjadi prioritas dalam hidup kita. Menjalani Ramadhan di tengah kepungan segala predikat dan hal terkait tentangnya, mampukah kita memilah dan memilih mana yang benar-benar ‘panggilan terpenting’? Mampukah kita membedakan mana yang esensial dan mana yang hanya sekedar ornamen pelengkap belaka?

Ramadhan adalah salah satu panggilan terindah untuk menghampiriNya, merasakan kenikmatan untuk dekat dan beribadah lewat berbagai cara, dalam bulan yang dimuliakan. Belajar menemui Allah bukan hanya lewat menahan dahaga dan lapar, menjalankan tarawih atau tadarus, tapi juga ketika bekerja di kantor, berkomunikasi dengan orangtua, melihat hujan, mengalami macet, mengasuh anak, berdagang, melihat pengemis, ketika tengah antri di bank, di dalam angkutan umum, dan seterusnya. Setiap saat berusaha untuk menghadirkanNya di hati, lewat sikap dan perilaku. Ramadhan mungkin saja cara Allah SWT untuk membuat perhatian kita sejenak beralih dan berlatih, setelah 11 bulan lain (sebagian besar aktivitas kita) bergumul dengan keduniawian. Lewat menahan lapar dalam berpuasa Ramadhan, seolah ditutupNya beberapa kanal kebutuhan-kebutuhan mendasar kita, lalu dihadirkanlah dimensi lain kemesraan dengan Sang Maha. Bagai orang yang sejenak memejamkan mata, dengan sendirinya pendengaran dan penginderaan lainnya pun akan lebih tajam. Pertanyaan buat kita (dan terutama ditujukan buat diri saya sendiri tentunya): Mampukah kita hening sejenak di tengah hingar bingar dunia dan kegempitaan Ramadhan, untuk kemudian meresapi kebeningan? Mendengarkan dan benar-benar menemuiNya? Akankah (misalnya) lewat tarawih di mesjid atau bersedekah kita merasakan kehadiranNya, bukan hanya sekedar melakukan gerakan sholat secara fisik atau memberikan sebagian harta karena niat lain? Sebagaimana disampaikan lewat firmanNya, sebenarnya Ia selalu ada, selalu hadir. Lebih dekat dengan masing-masing diri kita daripada apapun dalam kehidupan itu sendiri, walau kita seringkali abai. Mampukah kita secara konsisten menemukan dan merasakan denyut kedekatan itu?

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri.  (Al-Quran 50:16)

Segala yang benar hanya datang dariNya, dan Allah SWT semata yang Maha mengetahui sebenar-benarnya. Selamat menjalankan dan menikmati ibadah Ramadhan, teman-teman..  🙂

‘Konspirasi’ untuk Menginspirasi

Baru saja dua hari lalu Allah Maha Baik mengizinkan saya terdampar di sebuah Sekolah Dasar (SD) di bilangan Depok, untuk mencicipi pengalaman menjadi bagian dari Kelas Inspirasi. Meski terundang sebagai relawan yang akan berbagi dan memberi, tetapi saya punya ‘kecurigaan’ bahwa sepertinya justru sayalah yang akan mendapatkan banyak. Di tengah kegiatan rutin, Kelas Inspirasi bagai oase buat saya pribadi. Bukan lantaran aktivitas harian saya terasa ‘terik’, tapi karena kemurnian semangat dan ketulusan memberi yang ada dalam kegiatan ini. Sejak awal, sekedar mulai memikirkan dan merancang rencana kegiatan mengajar untuk anak-anak SD saja sudah membuat saya sumringah dan bersemangat berhari-hari. Setelah menyelesaikan tumpukan pekerjaan wajib dan berupaya memenuhi tenggat waktu yang memburu, beralih sejenak ke persiapan bahan ajar; flip-chart berikut spidol warna, boneka peraga, pernak-pernik iseng lain, benar-benar mendatangkan kesenangan tersendiri. Hal-hal yang tidak bebas saya lakukan dan salurkan di keseharian kerja yang sudah memiliki aturan dan patokan baku tersendiri. Terasa seperti menemukan diri saya sendiri. Gejalanya? Saya bisa mengerjakan hal-hal tersebut dengan semangat dan senyum. Bayangan tentang anak-anak SD yang nanti akan duduk mendengarkan cerita saya pun melintas. Waktu saya tidak banyak, dalam pertemuan singkat tersebut saya ingin membuat mereka bisa memperoleh sesuatu. Kalau boleh berharap, saya ingin sesuatu itu bisa bermanfaat dan memunculkan semangat bagi mereka. 😀

Sejak awal briefing, kata-kata Pak Anies Baswedan yang paling terekam oleh ingatan dan menggugah saya adalah (kurang lebih seperti ini);

Sekolah-sekolah kita banyak yang kesepian, karena hampir setiap orang yang meninggalkannya tidak pernah kembali lagi, bahkan untuk sekedar menengok. Sekolah Dasar memberikan dasar pendidikan dan mengantarkan setiap kita ke jenjang lebih tinggi, banyak jenjang berikutnya, hingga kita menjadi seperti saat ini, hari ini. Coba sesekali luangkan waktu untuk sejenak mengunjungi Sekolah Dasar, dimanapun. Lihat apa yang kita bisa berikan untuk mereka, dari yang telah kita capai. Walau sedikit, pasti akan sangat berarti.

Ffiuuh! Penyampaian Pak Anies tidak lama, tapi hampir seluruh kata-kata beliau sarat dengan makna sederhana yang sangat dalam. Di beberapa bagian saya merasa seperti tercolek, tercubit, tertoyor dengan sukses dan juga maluuuuuuu. 😦 Siapa sih saya? Sudah berapa lama saya diberikan kesempatan bernafas? Dan sudah berapa lama pula dimampukanNya untuk berjalan di atas kaki sendiri? Apa saja yang selama ini sudah saya lakukan buat orang lain? Jangan-jangan saya hanya individu yang sekedar hadir setiap hari, mengisi absensi kehidupan dan menjalaninya sesuai putaran roda. Saya berupaya berlari ketika putaran roda kencang, lalu lamat-lamat berjalan saat ritme putaran menurun. Jangan-jangan saya tidak banyak berpikir dan melihat lagi apa sebenarnya manfaat usia saya bagi diri dan orang lain. Selesai jadwal kehidupan, titik. Sekian. Hiks!

Saya memahami keterbatasan yang ada pada diri sendiri. Energi saya tidak dahsyat untuk bisa berbuat banyak, apalagi berdampak luas. Tapi selalu ada keinginan terdalam untuk bisa ikut berarti, sesuai kapasitas saya. Ternyata Kelas Inspirasi memungkinkan untuk itu. Sangat bisa. Ini sungguh bukan lagi tentang saya, atau pribadi-pribadi para relawan lain yang terlibat. Tapi tentang gerakan berbuat baik yang luas, bermanfaat dan Insya Allah menular progressif. Hanya sehari, lewat kegiatan ini setiap relawan akan berbagi dan bercerita mengenai profesi yang dijalankan. Tujuannya, agar anak-anak SD mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih kaya, lewat interaksi langsung dengan para pelaku profesi. Menurut Pak Anies, Kelas Inspirasi ingin membangun mimpi anak Indonesia.

Lalu, bagaimana pada pelaksanaannya? Apa yang bisa saya berikan? 🙂 Di awal para relawan memang umumnya diskenariokan memberi dan berbagi. Ternyata, apa yang dialami tidak sepenuhnya begitu. Saya dan teman-teman relawan lain justru merasakan hal serupa: kami memberi secuil, tapi ternyata memperoleh sangat banyak. Kami hanya bercerita tentang apa yang dilakukan sehari-hari, mereka menyambutnya dengan belalak mata penuh antusias dan imajinasi untuk menjelajah ke masa depan. Senyum hangat anak-anak, pertanyaan, teriakan, spontanitas, keluguan dan semangat di binar bola mata mereka benar-benar sesuatu yang tak ternilai. Belum lagi suasana sekolah, sambutan kepala sekolah dan para guru yang ramah menerima kami.

Tentu saja, ada cerita lain di balik itu. Bagaimana kami berjibaku mengelola ketenangan diri dan memastikan efektivitas penyampaian materi di tengah kepungan, serbuan dan teriakan desibel tinggi dari mereka, terutama murid-murid di kelas kecil. Mengingat sebagian besar dari kami di keseharian tidak banyak berinteraksi dengan anak-anak secara klasikal. Memiliki anak pun ternyata tidak lantas membuat beberapa dari kami menjadi mudah menguasai kelas. Seru! Ahaa… saya sendiri spontan menyadari bahwa ternyata suara saya punya keterbatasan untuk berteriak. Ada saat-saat dimana terasa sudah maksimal mengeraskan volume, tapi bunyi-bunyian yang keluar justru lebih fals. :p Sempat saya juga merasakan pergesekan pita suara yang berakhir serak di sore harinya. Ternyata teman-teman relawan lain pun merasakan hal serupa. Membahas dan mentertawakan ketololan masing-masing menghadapi anak-anak di kelas sungguh jadi sangat menyenangkan. 🙂  Benar sekali apa yang disampaikan salah seorang relawan saat briefing; turun mengajar menghadapi anak-anak SD sehari saja, memunculkan kegembiraan luar biasa sekaligus juga kelelahan fisik yang membuat beberapa orang tiba-tiba merindukan spa dan pijat. :p Coba bayangkan, bagaimana dengan para Guru yang setiap hari memang tugasnya mengajar mereka? Turun langsung ke sekolah ternyata memunculkan kesadaran dan penghargaan lebih mendalam terhadap peran para Guru SD. Betapa tidak, sebelum bisa menjadi sarjana, berhasil di pekerjaan, merekalah yang berperan sebagai perintis di awal kehidupan pendidikan kita. Mereka yang benar-benar tekun dan bersabar membimbing setiap anak untuk mengenal huruf sebelum bisa membaca. Mengeja, sebelum bisa memahami kemudian. Sebelum menjadi seperti masing-masing kita hari ini. :’)

Terima kasih banyak Kelas Inspirasi, sudah menyertakan saya dalam ‘konspirasi’ cantik untuk menginspirasi anak-anak, yang kepada mereka semualah kehidupan bangsa ini kelak kita percayakan. Lewat kegiatan ini selain siswa dan guru, saya juga dipertemukan dengan teman-teman baru yang punya semangat dan idealisme untuk berbuat; Alya, Amar, Anin, Pak Charma, Citra, Mas Dammer, Denok, Mas Irkham, Laras, Pak Leo, Rendy, Mas Ricky, Mbak Rindu, Vendy, Wira dan tentu saja Gilang mentor kelompok yang menggelegar! 😀 Sungguh saya tidak menolak untuk kembali ditugaskan, menjadi bagian untuk menyebarkan dan menularkan semangat positif. Senang rasanya bisa jadi bagian keciiiiiiiiil dari yang nimbrung berbuat, ikut menyalakan lilin. Bukan semata mengutuki kegelapan. 🙂

Tokyo Family

Di titik mana Anda berdiri saat ini?

Manusia muda mungkin melihat hidup jauh ke depan, mengisi waktunya dengan mengejar apa yang ingin diraih. Manusia tua bisa jadi merasa telah melalui puncak pencapaian dan melihat hidupnya mendekati akhir. Mereka kerap menengok ke belakang, mengenang apa yang pernah ada. Karena secara nyata sudah pernah melewati masa yang dijalani si muda, si tua bisa saja merasa lebih paham dan tahu, atau bahkan merasa benar dalam banyak hal. Dalam lingkup terdekat pertalian yang terhubung oleh darah -yaitu keluarga, pergesekan justru sering muncul karena adanya perbedaan persepsi ini.

Anak merasa ingin menentukan dan menjalani hidup dengan caranya, sementara orangtua tidak mudah untuk begitu saja melepaskan mereka, terlebih apabila dianggapnya si anak belum memenuhi kriteria ‘keberhasilan’ menurutnya. Anak yang begitu menggemaskan saat dipeluk dan ditimang semasa bayi, bisa menjadi sosok yang asing bagi orangtua ketika mereka beranjak dewasa. Demikian pula sebaliknya, anak bisa saja merasa bahwa sepanjang hidupnya ia selalu dianggap kurang, belum berhasil atau bahkan salah dan gagal oleh orangtua. Banyak yang menggarisbawahi komunikasi sebagai kunci. Kenyataannya tidak semua orang membangun kebiasaan dan memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik. Dan hal tersebut memang bukan sesuatu yang sederhana untuk dilakukan, terlebih bila sekian lama sudah terjebak dalam interaksi (dan komunikasi) yang kurang sehat. Dalam pandangan sederhana, saya menganggap ada yang lebih penting yang terlebih dulu perlu mendasari komunikasi; mencintaimemahami dan memaklumi. Dalam konteks keluarga, ketiga hal tersebut akan mengantarkan si muda dan si tua, anak dan orangtua untuk bertemu di titik tengah; jembatan komunikasi yang menghubungkan keduanya. Apalah artinya berkomunikasi bila tanpa didasari rasa sayang, kesediaan untuk memahami dan memaklumi. Toh, saling berteriak, membentak, bahkan melempar piring pun merupakan bentuk berkomunikasi. :-p

Di titik mana Anda berdiri saat ini?

Sebagai anak, sebagai orangtua, atau keduanya?

Apakah Anda menikmati dan mensyukuri interaksi yang ada?

Film apik berdurasi 146 menit berjudul Tokyo Family yang baru saja saya saksikan minggu lalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Mengambil setting Tokyo masa kini, sang sutradara Yoji Yamada mencoba untuk membuat remake dari film garapan Yasujiro Ozu di tahun 1953 berjuluk “Tokyo Story”. Ya, benar. Film aslinya dibuat sekitar 60 tahun yang lalu. Pheeew! Sudah selama itu. 🙂 Saya tak hendak membahas komparasi keduanya, toh saya belum menyaksikan film Ozu tersebut, yang konon dianggap mahakarya pada zamannya.

Cerita dimulai dengan kunjungan Ayah dan Ibu yang tinggal jauh di pedesaan suatu pulau, ke Tokyo untuk menemui ketiga anaknya; Koichi (seorang dokter dengan istri dan dua orang anak), Shigeko (membuka salon rumahan bersama suaminya) dan Shoji (seorang pekerja serabutan yang menggarap setting panggung pertunjukan, dekorasi ruang konser dan sebagainya). Karakter Ayah digambarkan sebagai sosok tua yang kaku, dingin dan lebih banyak menggerutu. Baginya apa yang dikerjakan oleh anak-anaknya tidak pernah cukup memuaskan atau dianggap benar, terutama Shoji yang ia lihat tidak memiliki masa depan yang baik. Keberhasilan menjadi dokter sebagaimana yang diraih Koichi pun ia anggap memang sudah sewajarnya. Diam atau berkata pedas adalah dua hal yang paling dikuasainya. Sang Ibu justru sebaliknya, punya sikap dan perangai yang bertolak belakang sekaligus juga melengkapi si Ayah; tenang, hangat, penggembira, cenderung santai dan optimis melihat sekitarnya. Kecemasan atau kekhawatiran yang muncul selalu diimbangi pula dengan prasangka baik terhadap para anak. Ibu yang lebih ringan dan positif melihat segala sesuatunya ini kerap menjadi pintu penghubung komunikasi antara anak-anak dengan Ayah.

Dalam upaya  Ayah dan Ibu untuk mengetahui kabar dan perkembangan ketiga anak (dan keluarga masing-masing), mereka secara bergantian menginap di rumah yang berbeda. Di sinilah muncul gambaran yang kerap terjadi ketika si anak usia dewasa dikunjungi orangtua mereka. Senang menyambut kedatangan mereka, sekaligus juga bingung mengatur waktu dan kegiatan agar tetap bisa menemani mereka tanpa mengganggu jadwal rutin yang telah ada sebelumnya. Di satu titik, ketika semua anak sibuk dan tidak bisa mangkir dari pekerjaan, mereka pun sepakat untuk ‘mengungsikan’ Ayah dan Ibu sementara waktu ke Yokohama (sekitar 30 km dari Tokyo), memberikan keduanya fasilitas untuk bermalam di hotel mewah. Dalam pemikiran Koichi dan Shigeko, daripada bersempit-sempit di rumah mereka di Tokyo, pasti refreshing di hotel akan sangat menyenangkan bagi mereka. Kenyataannya, Ayah dan Ibu justru merasa bingung dan ‘terusir’, mendapati bahwa mereka sebenarnya saat itu tidak punya tempat di tengah kesibukan para anak. Malam menginap  mereka habiskan dengan memandangi gemerlap kincir raksasa dan lampu cantik lain yang menghiasi langit malam Yokohama, dari jendela kamar. Merasa bosan dan sayang membuang waktu di kamar mewah yang dianggap pemborosan, mereka pun memutuskan untuk kembali ke Tokyo lebih awal. Hal ini ternyata membuat para anak pun terkejut, tidak siap dengan rencana lain. Merasa enggan menyulitkan, kedua orangtua berinisiatif memilih alternatif lain; si Ayah akan menginap di rumah sahabatnya dan si Ibu memilih untuk menginap di apartemen sempit Shoji.

Di titik ini terjadi hal-hal yang menurut saya menarik. Ayah mengisi pertemuan dengan sahabat lamanya, berbincang hingga larut di kedai sake dimana sebagian besar isi pembicaraan adalah keluhan, omelan dan ketidakpuasan akan kondisi dan pencapaian anak-anak mereka saat ini. Keduanya pulang dalam keadaan mabuk berat. Sementara Ibu menikmati malam dengan si bungsu Shoji, yang mengenalkannya pada calon istrinya: Noriko. Terkejut dengan kedatangan Noriko, namun Ibu juga mendapati bahwa gadis tersebut sangat baik dan menyenangkan. Mereka menikmati makan malam bersama. Ketika Noriko pulang, Shoji banyak bercerita tentang Noriko, termasuk pertemuan pertama mereka ketika sama-sama menjadi relawan di Fukushima pasca bencana tsunami. Sutradara cukup apik menggambarkan quality time; kedekatan Ibu dan anak, ketika sebelum tidur Shoji bercerita dengan binar mata mengingat Noriko dan membayangkan masa depan mereka. Si Ibu terus tersenyum dan tidak kalah antusiasnya menanggapi, dengan kehangatan seorang Ibu yang bungah melihat anaknya bahagia.

Di pagi hari ketika Shoji sudah berangkat kerja, Noriko singgah untuk mengantarkan sarapan. Di sini Ibu berusaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang masih ada di benaknya; apakah Noriko adalah orang yang tepat bagi Shoji? Apakah Shoji cukup layak buat menjadi suami Noriko? Ia menanyakan langsung pada Noriko, terutama apa pendapatnya tentang Shoji yang cenderung santai, belum punya perencanaan jangka panjang dan kehidupan yang mapan. Si Ibu sudah bersiap dengan apapun jawaban yang muncul, ketika di luar dugaan Noriko justru mengutarakan, “Saya tahu Shoji memang seperti itu. Kami banyak berselisih paham di awal hubungan. Tapi hal tersebut juga merupakan kualitas yang terbaik dari dirinya. Ia bersemangat, antusias, menikmati hidup saat ini apa adanya, tidak terpaku pada masa depan.”  Legalah si Ibu, merasa yakin bahwa Noriko dan Shoji memang merupakan pasangan yang serasi.

Dengan sikap yang berbeda, Ayah dan Ibu masing-masing memperoleh kesan dan kesimpulan yang berbeda pula mengenai kehidupan anak-anak mereka. Singkatnya:

‘mengeluhlah, menggerutulah. Anda pun akan menemukan lebih banyak lagi hal-hal yang menyebalkan.’

‘terimalah, bersyukurlah. Anda akan menemukan lebih banyak lagi hal-hal yang menyenangkan.’

Rangkaian cerita selanjutnya menggambarkan bagaimana melalui hal dan kejadian tak terduga, ternyata masing-masing anggota keluarga justru ‘dipaksa’ untuk saling mengenal, memahami dan memaklumi. Ada bagian penting yang  kurang seru kalau saya paparkan seluruhnya di sini. :p Yang jelas, film keluaran 2013 ini cukup menarik untuk ditonton karena menggambarkan realita keluarga dan nilai-nilainya secara rapi dan menarik. Tapi buat Anda penyuka film action, mungkin saja berpeluang menjemukan karena tidak ada sama sekali adegan kejar-mengejar, tembakan dan teriakan histeris. 😉

Bagi saya pribadi, film ini meninggalkan pesan sederhana yang penting tentang keluarga: hargai dan syukurilah apa adanya, selagi masih ada.

GA 229, SOC-CGK

Akhir pekan lalu, saya dan suami bertolak kembali ke Jakarta dari Solo, melalui Bandara Adi Soemarmo. Saat tengah menunggu giliran masuk pesawat di tengah antrian panjang, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara sedikit gaduh di belakang. Spontan menoleh, beberapa orang pun melakukan hal yang sama. Bahkan tak sedikit yang bergegas menghampiri ke arah kerumunan. Sesosok pria dengan wajah sangat familiar berdiri di tengah-tengah orang yang berebut untuk menyapa dan berfoto bersama. Mengenakan celana jeans, kemeja putih bertangan panjang yang digulung, menyandang ransel hitam di pundak, ia terlihat sedikit lelah, namun secara umum terkesan santai, tenang dan ramah. Pria itu menebar senyuman khasnya. Dia orang nomer satu di DKI, Joko Widodo yang tenar dengan sapaan akrab Jokowi. 

Saya ikut berdegup melihat kehadiran beliau, terutama melihat antusiasme orang-orang di ruang tunggu keberangkatan. Seolah semua merasa ingin mendekat dan menyapa. Sangat tergelitik untuk ikut menghampiri beliau, namun saya pun separuh mengingatkan diri sendiri sebenarnya, jangan sampai proses boarding terganggu. Terlebih, kerumunan berjarak agak jauh dari titik kami berdiri dan terhalang beberapa penumpang lain. Saya berusaha fokus pada antrian, meski sesekali masih juga melihat ke belakang. ‘Dzziig!’ Ada rasa yang sedikit asing, namun membuat saya tiba-tiba dijalari perasaan haru mendalam. Semacam cubitan bercampur pelukan hangat.

Belum tuntas keheranan, berikutnya saya kembali menyaksikan sesuatu yang langka di negeri ini: seorang pejabat publik terkemuka ikut di dalam antrian masuk ke pesawat, untuk kemudian duduk di bangku belakang: kelas ekonomi! Dalam penggambaran bak tokoh kartun, mungkin rahang saya sudah terlepas jatuh ke lantai. Baru kali ini saya duduk lebih depan daripada seorang pejabat. 😛 Bukan tanpa alasan. Sudah terlalu sering saya menyaksikan bagaimana pongahnya perangai para penguasa ketika menggunakan fasilitas publik. Jangankan mereka, para asisten dan lingkaran terdekatnya juga kerap bertingkah berlebihan, selalu minta dilayani, diistimewakan dan dimaklumi setiap kali mereka hadir. Tidak banyak yang lebih memuakkan dari hal tersebut.  

Pria itu, datang seorang diri tanpa kawalan. Sikap tubuhnya begitu alami, tenang dan apa adanya. Ia membaur dengan orang lain tanpa rasa canggung atau kedekatan buatan ala pejabat pada umumnya; senyum lebar saat tersorot kamera TV dan kembali basi saat off air. Sikap yang saya yakini hanya bisa muncul lewat adanya keinginan tulus untuk menghargai orang lain, dari hatinya. Tanpa upaya ‘lebay’ atau jumawa berlebihan, saya melihat bagaimana ia disambut reaksi spontan dan sikap hangat yang diperlihatkan oleh orang-orang di sekitar beliau. Sangat mungkin dada saya sesak karena melihat hal yang sangat bertolak belakang dengan pandangan umum, namun merupakan sesuatu yang sangat saya rindukan: pemimpin sebenarnya. Bukan semata pejabat; seorang yang tengah menjabat posisi sebagai pimpinan. Turun dari pesawat, Pak Jokowi mengikuti jalur umum; antri, turun tangga dan menaiki bus bandara yang mengantarkan ke terminal kedatangan; seorang diri. Kepala saya langsung berhitung mengkalkulasi taksiran biaya yang bisa dihemat antara perjalanan beliau dibandingkan dengan para pejabat yang memerlukan antek-antek dan tetek bengek yang lebih ke arah tiada manfaat itu. 

Image

Apa yang baru saja saya saksikan membuat sepanjang penerbangan dan perjalanan saya pun menjadi super cengeng; bukan karena turbulensi atau macet Jakarta. Tapi karena mendapati sesuatu yang sangat langka dan berharga. Rasanya baru kali kemarin selama di udara saya memanjatkan doa yang berbeda tema. 😉 Dari dasar hati terdalam saya memohon agar Allah SWT melimpahkan berkah dan kemudahan bagi para pemimpin yang benar-benar ikhlas dan tulus bekerja untuk rakyat. Semoga mereka diberikan kesehatan lahir batin, menghadapi masalah dan tantangan yang begitu banyak di negara ini. Saya tidak berhasil mengingat, kapan terakhir kali saya berdoa hal yang sama. Hhm.. sebegitu parahnya mungkin persepsi saya tentang pemimpin/para pejabat pada umumnya, sehingga hati saya kurang tergerak untuk mendoakan. 😮

Suami saya pun tersenyum menyetujui, ketika saya mendeklarasikan bahwa perjalanan pulang kemarin merupakan ‘goceng paling berharga yang pernah dibayarkan’. Hehe.. kebetulan dengan memanfaatkan akumulasi mileage frequent flyer, masing-masing kami memang hanya membayar Rp. 5000,- untuk penerbangan tersebut. 😀 

My Collage

thinking my life as a big awesome collage in the making
although I cannot get a whole final picture
not yet
I am simply too small
too weak
have no wings to fly to see it from above

the master plan is in Master’s hand
while hypnotized by the smell of freshly-cut grass I adore
there are sometimes confusing paths
crossroads
when seeing beautiful magnificent clouds formation
there comes another uneasy thoughts
restlessness

I dare not to ask
but with all my weariness
run to the Master
for He is the Greatest of all
knowing He is always there
unconditionally
giving me healing, courage, dignity
and abundant love to love life again
as if it were my very beginning

it is an honor to be a part of this precious project
everyone can only have once

to play a major role
to be alive
and to feel alive
to engage in dynamic conversations
grasp the very heart of the matters

every little step in the collage making
leads me to the Greatest
I do my part
still doing
not knowing the exact deadline
just trying to make the most of my chance

until I hear He says;
‘time’s up! you can take a good rest now
come to Me and see the collage for yourself
stunning, isn’t it?’
perhaps I cannot stop smiling
knowing I will have given my all
for my Master

(I hope)

written on May, 22 2012