Bukan Dongeng dari Negeri Dongeng

Cerita yang sama melintas lagi di depan saya lewat suatu forum. ‘Dziiig!’

Konon kabar di awal terbentuknya republik ini, di berbagai pelosok negeri berjuta orang gelisah. Sebegitu intensnya kegundahan mereka. Pada masa itu, ada satu hal yang sama-sama sangat dirindukan dan membuat setiap individu punya kesamaan tujuan. Tanpa banyak kendala, setiap orang merasa orang lain di negara ini adalah sama, satu, sejalan dengan dirinya. Lalu bagaimana dengan perbedaan? Ada. Tentu saja selalu ada. Namun itu terasa tidak terlalu penting. Dalam benak banyak orang ketika itu perbedaan adalah sesuatu yang bisa ditepis, toh ada sasaran lebih besar yang menjadi prioritas bersama. Perbedaan bukan menjadi masalah yang harus dikedepankan, lalu meruncing berubah wujud menjadi onak yang menggores dan melukai. Sebelum kemerdekaan, setiap orang merasakan getaran yang sama dalam aliran darah mereka: merindukan Indonesia yang berdaulat. Menyadari bahwa hal itu tidak mudah, dengan segenap daya yang dimiliki setiap orang pun berupaya untuk berkontribusi semampunya. Bahkan jauh sebelum proklamasi, setiap kalangan sampai-sampai merasa perlu secara eksplisit menyamakan dan menyatukan identitas, sebagai satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Ada kegairahan dan kegembiraan untuk menyatu. Kemerdekaan diraih dengan sumbangan kolektif, iuran dari banyak orang, dari berbagai kalangan yang ada di negeri ini. Begitu banyak urunan pemikiran, curahan perasaan, dana, semangat, peluh, tenaga fisik, waktu, darah, hingga nyawa yang tergadaikan untuk menebus kedaulatan. Bukan semata romantisme sesaat, kesamaan tujuan saat itu terasa begitu luhur dan menjadi cita-cita bersama yang mendasari perjuangan. Perasaan serupa tersebut memberi energi setiap orang pada masa itu, untuk saling sapa dengan aliran semangat dan keharuan yang sama; ‘Merdeka!’. Kita adalah satu. Negeri itu, ada. Dan negeri itu bukan negeri dongeng.

Lalu, apa yang ada di hadapan kita kini? Apa kabar negeri itu? Hampir 69 tahun usia kemerdekaannya. Apa yang kita rasakan? Masihkah tersisa gelegak perasaan dan semangat yang sama bahwa kita semua adalah satu, dan punya cita-cita bersama yang perlu diwujudkan lewat kerja keras bersama?

Saya sebenarnya berharap kita semua bisa menjawab ‘ya’, dengan tegas. Bila perlu ketegasan yang sangat meyakinkan. Namun dalam banyak kesempatan, kejadian dan kenyataan yang terekam di depan mata dan benak ini tak selalu mengisyaratkan hal tersebut. Terkadang kita lebih mudah merasa berbeda, lalu bergegas menjauh dari kebersamaan dan rasa saling menghormati. Adakalanya kita merasa jauh lebih baik dari orang lain yang berbeda pilihan. Tengoklah contoh keriuhan yang terkait dengan pemilu. Berapa banyak dari kita yang merasa tidak sama, berbeda tujuan, berbeda ‘jagoan’, lalu saling umpat, mencela dan menjatuhkan? Pada masa kampanye –bahkan jauh sebelum itu, selalu saja ada beberapa orang yang merasa lebih berhak untuk mencibir, lalu dengan sangat ringan menjelek-jelekkan siapapun yang berbeda pilihan. Sepenuh tenaga bila perlu. Senyinyir mungkin, bila bisa. Sampai pihak lawan terjungkal, lebih bagus bila tidak bisa berkutik lagi. Beberapa orang menyematkan identitas pembeda di dirinya, dengan tegas menyatakan pilihan pribadi. Sampai di sini, tentu tidak ada yang salah dengan menentukan pilihan masing-masing. Tetapi bagaimana kemudian pilihan-pilihan tersebut menggiring kita pada sekat-sekat yang memisahkan, bahkan berhasil menciptakan kebencian luar biasa dan jurang pemisah dalam yang tak terjembatani; inilah racun sesungguhnya. RACUN, menurut saya.

Dengan ketatnya sekat pembatas, tidak banyak yang mampu melihat tujuan bersama; yaitu tujuan bangsa ini untuk jangka waktu panjang. Sekat itu telah mewujudkan semacam kekang yang membatasi kemampuan seseorang untuk bisa mengantisipasi lebih jauh, menyikapi secara bijak dan mengambil tindakan akurat yang lebih bermanfaat luas. Waspada (dan cenderung mengarah pada curiga) menjadi sikap yang terbangun dan respon yang terlatih otomatis adalah siap menyerang. Pertanyaannya, sebegitu berbedanya-kah kita sampai-sampai perlu saling hujat dan menyakiti? Lalu apakah akhir dari semua itu adalah kemenangan yang melegakan? Untuk siapa?

Serupa dengan perjuangan meraih kemerdekaan, begitu banyak urun pemikiran, curahan perasaan, dana, semangat, peluh, tenaga fisik, waktu, darah, hingga nyawa yang mungkin tergadaikan saat pemilu yang baru lalu. Akan tetapi BUKAN untuk menebus kedaulatan, apalagi untuk mewujudkan manfaat yang luas bagi bangsa. Sayangnya saat ini (bagi sebagian orang) target yang dituju justru menjadi lebih sempit: kursi jabatan. Jadi, ketika para pejuang dan rakyat Indonesia di waktu lalu merasakan gelegak haru dan semangat bahu-membahu untuk saling padu dan bantu, di masa kini justru muncul kegundahan dan semangat berbalut kebencian saat berhadapan dengan mereka yang dianggap berbeda, bukan dari ‘kaum’ atau ‘golongan’-nya. Ketika dulu ramai orang mengedepankan apa bisa yang menyatukan mereka di atas aneka perbedaan, kini sebagian orang justru mengumandangkan semangat untuk membela identitas dan kepentingan yang lebih sempit; hanya potongan kecil dari puzzle Indonesia yang sangat besar. Saya melihat beberapa potongan kecil ini bahkan ada yang tidak terkait sama sekali dengan kepentingan bangsa, kepentingan bersama. Energi dan birahi politik yang sedemikian besar rupanya tidak selalu bermuara ke ‘samudera’ bernama Indonesia, namun sudah habis di hulu untuk kepentingan sesaat yang berorientasi pribadi dan golongan.  Hati kecil saya berharap semoga ini hanya satu-dua cuplik gambaran saja, yang sebenarnya tidak mewakili negara ini. Intensitas kehadirannya hanya lebih terasa karena senantiasa digadang-gadangkan lewat corong berbagai media. Semoga.

Berbeda adalah sunatullah, sudah merupakan ketentuanNya. Berbeda sebenarnya tidak terhindarkan, sudah demikian adanya dan sama sekali bukan semacam najis besar yang perlu dijauhi. Selalu ada jalan untuk kita menghindari perpecahan, bila mau. Di sekeliling kita, masih banyak sebenarnya orang-orang yang berpikir positif, tidak berorientasi diri/golongan sendiri dan tetap memprioritaskan kepentingan bersama. Mereka tidak merasa perlu untuk larut dalam hasutan dan mempropagandakan kebencian, terlebih untuk membangun sekat yang tinggi. Beberapa di antaranya secara pribadi menemukan ketenangan batin dengan memilih jalan yang diyakini, lalu menghormati apa yang menjadi keyakinan dan pilihan orang lain. Begitu banyak orang yang tetap bekerja dan memberikan 100% kontribusinya untuk kebaikan dan perbaikan bangsa ini, tanpa perlu sanjungan dan publikasi. Dalam porsi tugasnya masing-masing mereka berupaya untuk tetap amanah, konsisten mengedepankan integritas dalam bekerja. Apakah saat ini kita sudah menjadi bagian dari mereka?

Terbersit ada kerinduan pada kebaikan, hal-hal positif dan optimisme, yang mungkin saja terasa kurang seksi bagi sebagian besar media untuk dikedepankan. Beberapa orang terlanjur menepuk dada, larut dalam ilusi bahwa memaki lawan politik itu sebegitu hebatnya dan telah menaikkan harga dirinya secara signifikan. Perbedaan pendapat atau perdebatan bernas yang konstruktif mungkin tidak terlalu menjual, karena berita dan ulasan mengenai saling cela, perang urat syaraf, bentrokan dan kerusuhan terasa lebih ‘keren’ dan menggugah. Lalu, sampai kapan ini berlanjut? Kumandang pujian dan kebanggaan akan bangsa ini sesekali mungkin terdengar sumbang. Tapi rasanya tidak untuk kemudian menjadi hening, lalu padam sama sekali tak terdengar.

Sebelum kebencian dan perbedaan yang memecah-belah terlanjur menjadi norma umum yang berlaku, kita sebenarnya masih punya waktu dan harapan. Mari sama-sama berupaya. Masih banyak orang-orang baik di sekitar kita yang tetap menebar optimisme dan harapan positif, membuat kita bisa merasakan bahwa belum terlambat untuk tetap mengedepankan kebersamaan dan memelihara semangat sebagai satu bangsa. Kepentingan bersama akan selalu di atas segalanya, untuk membuktikan bahwa cerita lalu tentang persatuan dan kebersamaan itu, bukanlah dongeng dari negeri dongeng –yang hanya berulangkali dikisahkan dalam ritual tahunan setiap Agustus datang.

Tinggalkan komentar